KEBIJAKSANAAN
PEMERINTAH
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH
SELAMA
Di dalam menjalankan fungsinya
sebagai pelaku ekonomi yang memiliki fungsi prioritas sebagai dinamisator dan
stabilisator, maka pemerintah perlu merencanakan dan melaksanakan
tindakan-tindakan yang berkesinambungan guna menyiapkan, mengarahkan kegiatan
ekonomi di Indonesia. Tindakan-tindakan itulah yang yang kemudian lebih dikenal
dengan kebijksanaan pemerintah di bidang ekonomi. Meskipun demikian
kebijaksanaan di bidang lain tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi
keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi itu sendiri.
Sebelum dibahas mengenai
kebijaksanaan pemerintah yang saat ini ada, perlu kiranya dilihat perkembangan
dan sejarah kebijaksanaan pemerintah yang pernah dilaksanakan dalam perekonomian
Indonesia, khususnya setelah masa Orde Baru berjalan. Beberapa kebijaksanaan
yang cukup menonjol sejak Orde Baru berjalan diantaranya adalah:
A.PERIODE 1966-1969
Kebijaksanaan pemerintah pada masa
ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan semua sektor dari
unsur-unsur peninggalan pemerintah Orde Lama, terutama paham komunis. Selain
itu masa ini juga diisi dengan kebijaksanaan pemerntah dalam mengupayakan
penurunan tingkat inflasi yang masih tinggi. Kebijaksanaan ini cukup berhasil
menekan inflasi dari ± 650% menjadi ± 10% saja, suatu prestasi ekonomi yang
tidak kecil.
B.PERIODE PELITA I
Kebijaksanaan pada periode Pelita
Pertama ini dimulai dengan:
· Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 1970, mengenai penyempurnaan tata niaga bidang ekspor
dan
impor
· Peraturan Agustus 1971, mengenai devaluasi mata uang
Rupiah terhadap Dollar, dengan sasaran
pokoknya adalah:
Kestabilan harga bahan pokok , Peningkatan nilai ekspor , Kelancaran
impor , Penyebaran barang
C.PERIODE PELITA II
Periode ini diisi dengan kebijaksanaan mengenai:
Perkreditan untuk
mendorong para eksportir kecil dan menengah, di samping untuk mendorong
kemajuan pengusaha kecil/ ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil
(KIK).
Kebijaksanaan Fiskal, dengan cara penghapusan pajak ekspor
untuk mempertahankan daya saing komoditi
ekspor di pasar dunia, serta untuk menggalakkan penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri guna mendorong investasi dalam negeri. Hasil dari
kebijaksanaan ini di antaranya adalah:
a. Naiknya cadangan devisa dari $ 1,8 milyar menjadi $ 2,58
milyar
b.
Naiknya tabungan pemerintah dari Rp
225 milyar menjadi Rp 1.522 milyar
Kebijaksanaan 15
Nopember 1978 (KNOP 15), yakni kebijaksanaan di bidang moneter dengan tujuan
untuk menaikkan hasil produksi nasional, serta untuk menaikkan daya saing
komoditi ekspor, yang pada masa ini menjadi lemah karena:
1. Adanya
inflasi yang besarnya rata-rata 34%, sehingga komoditi ekspor Indonesia menjadi
mahal di pasar dunia, akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk sejenis
dari negara lain.
2. Adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979
Di samping itu KNOP 15 juga didukung
oleh kebijaksanaan devaluasi Rupiah dari Rp 415/$ menjadi Rp 625/$. Kebijaksanaan
lain yang mendukung pada periode ini adalah dengan diturunkannya Bea Masuk
untuk komoditi impor yang merupakan komoditi bahan penolong, serta dengan
menaikkan Bea Masuk untuk komoditi impor lainnya.
D. PERIODE PELITA III
Periode ini diwarnai dengan
devisitnya neraca perdagangan Indonesia, yang disebabkan karena diterapkannya
tindakan proteksi dan kuota oleh negara-negara pasaran komoditi ekspor
Indonesia. Adapun kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang sempat
dikeluarkan dalam periode ini adalah:
· Paket
Januari 1982, yang berisi mengenai tata cara pelaksanaan ekspor-impor, dan lalu
lintas devisa. Di dalam kebijaksanaan ini diterapkan kemudahan dalam hal pajak
yang dikenakan terhadap komoditi ekspor, serta kemudahan dalam hal kredit untuk
komoditi ekspor. Kebijaksanaan ini kurang membawa hasil, dikarenakan terjadinya
resesi dunia yang juga belum berakhir.
· Paket kebijaksanaan imbal beli
(counter purchase), yang dikeluarkan untuk menunjang kebijaksanaan paket
Januari di atas. Dalam kebijaksanaan ini tersirat keharusan eksportir maupun
importir luar negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang
sama. Ternyata kebijaksanaan ini pun masih kurang berhasil, karena resesi dunia
tersebut. Dengan adanya resesi tersebut menyebabkan naiknya tingkat inflasi,
sehingga tabungan masyarakat menurun, dana untuk investasi menjadi berkurang.
Akibat lebih jauhnya adalah turunnya produktivitas dan dengan demikian
pertumbuhan ekonomi menjdi berkurang.
· Kebijaksanaan Devaluasi 1983, yakni
dengan menurunnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar dari Rp 625/$
menjadi Rp 970/$, dengan harapan:
a. Gairah
ekspor dapat meningkat, sehingga penerimaan negara menjadi lebih banyak
b. Komoditi ekspor menjadi lebih mahal,
karena diperlukan lebih banyak rupiah untuk mendapatkannya. Dengan demikian
diharapkan industri dalam negeri dapat berkembang untuk meningkatkan
produktivitas. Akibatnya penerimaan pemerintah dari sektor pajak pun dapat
ditingkatkan.
E.PERIODE PELITA IV
Beberapa kebijaksanaan pemerintah
yang lahir dalam periode ini adalah:
·
Kebijaksanaan INPRES No. 4 Tahun
1985, kebijaksanaan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan
ekspor non-migas. Sedangkan di pihak lain masih banyak ditemui hambatan,
seperti sarana pelabuhan yang masih “semrawut” dan munculnya ekonomi biaya
tinggi. Tindakan yang diambil untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi adalah:
a. Memberantas pungutan liar
b. Mempermudah prosedur ke-Pabeanan
c. Menghapus dan memberantas biaya-biaya siluman
·
Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986
(PAKEM), yang dikeluarkan dengan tujuan untuk mendorong sektor swasta di bidang
ekspor maupun di bidang penanaman modal.
· Paket Devaluasi 1986, tindakan ini ditempuh karena jatuhnya
harga minyak di pasaran dunia yang megakibatkan penerimaan pemerintah turun.
Kebijaksanaan kali ini didukung dengan dilaksanakannya pinjaman luar negeri.
· Paket kebijaksanaan 25 oktober 1986, yang merupakan deregulasi
di bidang perdagangan, moneter, dan penanaman modal, dengan cara melakukan:
a.
Penurunan Bea Masuk impor untuk
komoditi bahan penolong dan bahan baku
b. Proteksi produksi yang lebih efeisien
c. Kebijaksanaan penanaman modal
·
Paket Kebijaksanaan 15 Januari 1987,
dengan melakukan peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas beberapa
sektor industri (menengah ke atas) dalam rangka meningkatkan ekspor non migas.
Langkah yang ditempuh di antaranya adalah:
a. Penyempurnaan dan penyederhanaan ketentuan impor
b.
Pembebasan dan keringanan dalam Bea
masuk
c.
Penyempurnaan klasifikasi barangnya
· Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES), dengan
melakukan restrukturisasi bidang ekonomi, terutama dalam usaha memperlancar
perizinan (deregulas).
·
Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988,
yakni kebijaksanaan deregulasi untuk menggairahkan pasar modal dan untuk
menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
· Paket Kebijaksanaan 21 November 1988 (PAKNOV), dengan
melakukan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan
dan hubungan laut.
·
Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988
(PAKDES), yakni kebijaksanaan di bidang keuangan dengan memberikan keleluasaan
bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif.
Selain iu, kebijaksanaan juga berisi mengenai deregulasi dalam hal
pendirian perusahaan asuransi.
F.
PERIODE PELITA V
Kebijaksanaan pemerintah selama
Pelita V lebih diarahkan kepada pengawasan, pengendalian, dan upaya kondusif
guna mempersiapkan proses tinggal landas menuju rencana Pembangunan Jangka
Panjang Tahap Kedua.
2. KEBIJAKSANAAN MONETER
Adalah sekumpulan tindakan
pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui peredaran uang dan tingkat
suku bunga. Kebijaksanaan ini ditempuh untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh
baik yang positif atau sebaliknya, dari peredaran uang dan tingkat suku bunga
yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat dimengerti karena peran uang yang
begitu vital dalam kehidupan perekonomian suatu negara, begitu pula pentingnya
tingkat suku bunga yang dapat mempengaruhi pola kegiatan investasi di
Indonesia.
Di dalam sistem perekonomian
Indonesia, kebijaksanaan moneter ini dijalankan oleh pemerintah melalui lembaga
keuangan yang disebut dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia seperti halnya di
negara-negara lainnya, adalah satu-satunya bank sentral di Indonesia yang
secara lebih rinci memiliki tugas:
· Sebagai bank-nya pemerintah, yaitu membantu pemerintah dalam
mengelola (menyimpan dan meminjami) dana pemerintah yang akan dipergunakan
untuk pembangunan
· Sebagai bank-nya bank umum, yaitu membantu para bank umum
dalam kegiatan operasional dana yang dimiliki atau dibutuhkannya
· Sebagai lembaga pengawasan kegiatan lembaga keuangan, yaitu
mengawasi produk-produk yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga keuangan
yang dapat mempengaruhi peredaran uang dan iklim investasi
· Bersama lembaga pemerintah terkait lainnya bertugas sebagai
lembaga pengawas kegiatan ekonomi di sektor luar negeri
· Memperlancar kegiatan perekonomian dengan cara mencetak uang
kartal (kertas dan logam)
Dilihat dari upaya yang ditempuh,
kebijaksanaan moneter ini dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis kebijaksanaan
moneter, yakni:
a. Kebijaksanaan
Moneter Kuantitatif
Sesuai dengan namanya jenis
kebijaksanaan moneter ini dijalankan dengan mengatur uang beredar dan tingkat
suku bunga dari segi kuantitasnya. Kebijaksanaan jenis ini umumnya dijalankan
dengan tiga cara, yaitu:
Pertama, dengan melakukan operasi pasar terbuka, yakni dengan
memperjual-belikan surat-surat berharga (SBI) yang dimiliki oleh Bank
Indonesia, dengan harapan uang yang yang beredar akan menjadi lebih banyak atau
menjadi lebih sedikit sesuai yang diperlukan dalam kegiatan perekonomian di
Indonesia. Proses operasi pasar terbuka ini dapat dilihat dalam ilustrasi
berikut:
Ilustrasi
1
Dengan asumsi bahwa uang yang
beredar di Indonesia suatu saat dianggap terlalu banyak sehingga dikhawatirkan
akan memacu timbulnya spekulasi dan inflasi, maka Bank Indonesia memutuskan
akan menarik sebagian uang yang beredar dengan jalan menjual surat-surat
berharga yang masih dimilikinya. Untuk itu Bank Indonesia akan menjual surat
berharga senilai Rp 0,5 trilyun. Adapun data mengenai uang yang beredar dapat
dilihat dalam neraca konsolidasi semua bank umum sebagai berikut:
NERACA
KONSOLIDASI (disederhanakan)
BANK UMUM
INDONESIA 1996
(dalam
trilyun)
Cadangan
min.
20
Investasi
70
Kredit
30
|
Tabungan
giral
100
Modal
20
|
120
|
120
|
Dari neraca konsolidasi tersebut
terlihat uang yang beredar yang diasumsikan terlalu banyak (tabungan giral Rp
100 trilyun). Dan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia sebagian dari nilai
tersebut harus dicadangkan, misalkan 20% nya (cadangan min. Rp 20 trilyun), dan
sisanya dapat diinvestasikan atau disalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat.
Dengan kebijaksanaan Bank Indonesia
yang menjual SBI senilai Rp 0,5 trilyun tersebut, uang beredar senilai Rp 100
trilyun tersebut tanpa dikurangi dengan proses sebagai berikut:
SBI tersebut akan dibeli oleh bank
umum dengan menggunakan cadangan minimalnya, sehingga setelah itu cadangan
minimalnya hanya tinggal Rp 19,5 trilyun. Nilai ini harus tetap merupakan 20%
dari nilai tabungan giral yang berhasil dicipta sebagai uang yang beredar.
Dengan ketentuan tersebut maka tabungan giral yang kemudian diijinkan hanya
sebesar Rp 97,5 trilyun (97,5 × 20% = 19,5). Dan neraca konsolidasinya menjadi:
NERACA
KONSOLIDASI
(disederhanakan,
setelah adanya kebijaksanaan op. ps. terbuka)
BANK UMUM
INDONESIA
Per 31
Desember 1996
(dalam
trilyun)
Cadangan
min.
119,5
Investasi
68
Kredit
30
|
Tabungan
giral
97,5
Modal
20
|
112,5
|
117,5
|
Dari peristiwa operasi pasar terbuka
yang dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan
hanya menjual surat berharga senilai (5× lipatnya). Dengan demikian jika
dianggap bahwa uang yang boleh beredar (tabungan giral) adalah hanya sebesar Rp
80 trilyun, maka Bank Indonesia harus menjual surat berharga senilai Rp 4
trilyun ({(100-80)/2,5} × 0,5).
Di pihak lain, agar kebijaksanaan
operasi pasar terbuka yang dijalankan Bank Indonesia tersebut berjalan sesuai
harapan, maka perlu dipenuhi syarat-syarat di bawah ini:
a. Surat
berharga yang akan diperjual-belikan jumlahnya cukup. Sebagai contoh di atas,
jika uang yang beredar akan dikurangi senilai Rp 20 trilyun, maka jumlah surat
berharga yang harus tersedia untuk ditawarkan kepada masyarakat min. harus
masih ada senilai Rp 4 trilyun. Namun jika surat berharga yang dimiliki oleh
Bank Indonesia hanya senilai Rp 2 trilyun, maka jumlah uang yang berhasil
dikurangi hanya sebesar Rp 10 trilyun saja. Dengan kata lain tujuan Bank
Indonesia dalam mengurangi uang yang beredar sebesar Rp 20 trilyun tersebut
gagal.
b. Bank
Umum tidak memiliki kelebihan dalam cadangan minimalnya. Jika dalam contoh di
atas bank umum memiliki kelebihan cadangan min. sebesar Rp 2 trilyun (cadangan
min. menjadi Rp 22 trilyun), maka kebijaksanaan operasi pasar terbuka Bank
Indonesia juga akan gagal, karena secara matematika bank umum tetap dapat
mempertahankan besar cadangan min. yang diperlukan jika tabungan giral yang
tercipta Rp 100 trilyun (100 × 20% = 20 kelebihan cadangannya tinggal Rp 1,5
trilyun).
Kedua, dengan merubah tingkat suku bunga diskonto.
Cara kedua dalam kebijaksanaan
moneter kuantitatif ini dilakukan sebagai alternatif atau pendukung dari cara
operasi pasar terbuka.
Tingkat bunga diskonto adalah tingkat
bunga yang berlaku dalam transaksi moneter antara Bank Indonesia dengan bank
umum. Proses dari cara ini adalah, jika dengan asumsi yang sama, bahwa agar
uang yang beredar di Indonesia tidak terlalu banyak, maka tindakan yang dapat
dilakukan
adalah dengan menaikkan tingkat suku
bunga diskonto. Dengan suku bunga diskonto yang tinggi maka bank umum tidak
akan meminjam uang dari Bank Indonesia dengan jumlah yang banyak. Sehingga uang
yang berada di bank umum juga menjadi sedikit, dan akibat selanjutnya uang yang
tersalurkan ke masyarakat juga sedikit. Dengan demikian uang yang beredar tidak
menjadi lebih banyak lagi. Akibat ini juga akan tercapai jika dengan suku bunga
diskonto yang tinggi tersebut, bank umum lebih senang menyimpan uangnya di Bank
Indonesia daripada mengeluarkannya untuk masyarakat.
Ketiga, dengan cara merubah presentase cadangan min. yang harus
dipenuhi oleh setiap bank umum. Dengan menggunakan contoh liustrasi 1 di atas.
Telah dijelaskan jika bank umum memiliki kelebihan cadangan min. maka operasi
pasar terbuka akan gagal. Jika ini yang terjadi maka Bank Indonesia masih dapat
mengatasinya denga cara menaikkan presentase wajib cadangan minimalnya menjadi
22%, sehingga secara matematis nilai uang yang beredar (tabungan giral) tetap
dapat dikurangi, meskipun tidak sebesar sebelum para bank umum tadi memiliki
kelebihan cadangan min. sebesar Rp 2 trilyun.
Dengan cara ketiga ini, uang yang
beredar dapat dikurangi sebesar Rp 2,3 trilyun (97,7 × 22% = 21,5). Namun
demikian cara ini pun akan gagal jika bank umum kembali menetapkan/
memiliki kelebihan cadangan min. lagi.
b. Kebijaksanaan Moneter Kualitatif
Untuk
lebih mensukseskan cara-cara kuantitaif di atas maka Bank Indonesia dapat
melakukan kebijaksanaan moneter yang bersifat kualitatif ini.
Yang
dimaksud dengan kebijaksanaan moneter kualitatif ini adalah dengan mengatur dan
menghimbau pihak bank umum/ lembaga keuangan lainnya, guna mendukung
kebijaksanaan moneter kuantitaif yang sedang dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Sebagai
contoh dalam ilustrasi 1, Bank Indonesia akan menghimbau kepada manajemen bank
umum untuk tidak memiliki kelebihan cadangan minimal yang telah ditetapkan. Di
samping itu kebijaksanaan ini juga bertujuan untuk lebih mengawasi kegiatan
perbankan dan lembaga keuangan lainnya agar tidak sampai merugikan masyarakat,
bank umum itu sendiri sampai dengan perekonomian secara umum.
3. KEBIJAKAN FISKAL
Jika di dalam kebijaksanaan moneter
pemerintah menggunakan elemen uang beredar dan suku bunga untuk mengatr
perekonomian, maka kebijaksanaan fiskal adalah suatu tndakan pemerintah di
dalam mengatur perekonomian melalui anggaran belanja negara, dan biasanya
dikaitkan dengan masalah perpajakan. Meskipun tidak selalu demikian, namun
orang lebih melihat kebijaksanaan fiskal sebagai kebijaksanaan pemerintah di
sektor perpajakan.
Kebijaksanaan fiskal (dalam hal ini
melalui perpajakan) dapat dibedakan dari beberapa segi.
Pertama, jika dilihat dari segi cara pembayarannya, sistem
pembayaran pajak dibagi menjadi dalam istilah:
a. Pajak langsung: pajak
yang pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain.
Sebagai contoh adalah pajak
kendaraan bermotor. Siapapun pemiliknya maka dia sendirilah yang harus
membayarnya. Meskipun secara fisik dapat diwakilkan/ dilakukan oleh orang lain,
namun secara formal harus dilakukan oleh si pemilik (diwakili dengan KTP asli
si pemilik).
b. Pajak tidak langsung:
pajak yang pembayarannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, seperti pajak
pertambahan nilai, cukai rokok, dsb.
Kedua, jika dilihat dari besar-kecilnya nilai yang harus
dikeluarkan oleh wajib pajak (WP), pajak dapat dibagi dalam:
a. Pajak Regresif:
pajak yang besar-kecilnya nilai yang harus dibayarkan, ditetapkan berbanding
terbalik dengan besarnya pendapatan WP. Semakin tinggi pendapatan WP, semakin
kecil pajak yang harus dibayarkan.
b. Pajak Sebanding:
pajak yang besar-kecilnya sama untuk berbagai tingkat pendapatan, umumnya untuk
tiap jenis komoditi dengan karakteristik yang sama.
c. Pajak Progresif:
pajak yang besar-kecilnya akan ditetapkan searah dengan besarnya pendapatan WP,
semakin tinggi pendapatan maka akan semakin besar pula pajak yang harus
dibayarkan. Dan sebaliknya semakin kecil pendapatan, bahkan untuk pendapatan
yang ada di bawah garis standar, si WP akan mulai menerima subsidi dari
pemerintah.
Ketiga, jika dilihat dari sisi tujuan ditetapkannya, maka ada
beberapa tujuan dari adanya kebijaksanaan perpajakan ini, yakni:
a. Pajak adalah sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah
yang cukup potensial. Dengan semakin baiknya tingkat kesejahteraan masyarakat
Indonesia, maka semakin besar pula nilai pajak yang dapat dihimpun oleh negara.
Hal ini didukung pula dengan semakin banyaknya objek pajak dapat dikenai pajak.
b. Pajak adalah sebagai alat pengendali tingkat pengeluaran
masyarakat, dengan sistem perpajakan dapat membantu pemerintah dalam hal
menekan pengeluaran, terutama jika kondisi perekonomian sedemikian cepatnya
sehingga dapat memicu inflasi yang semakin tidak terkendali, sehingga pengeluaran
masyarakat dan pemerintah perlu dikurangi.
Dengan adanya pajak pendapatan
disposible (Yd) yang siap dibelanjakan menjadi berkurang, sehingga konsumsi
akan ikut mengalami pengurangan.
c. Pajak adalah salah satu alat yang dapat dipergunakan sebagai
alat untuk lebih meratakan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat.
Dengan pajak yang progresif dapat dilakukan upaya untuk mempersempit tingkat/
jurang kesenjangan antara golongan ekonomi kuat dan lemah.
Pajak yang dihimpun dari para
ekonomi kuat dapat disebar kembali ke rakyat banyak dalam bentuk subsidi,
bantuan kemanuasiaan, pembangunan sarana dan prasarana umum yang banyak
dibutuhkan rakyat banyak. Dengan demikian si kaya turut menyisihkan sebagian
kekayaannya/ kelebihan dana untuk kepentingan rakyat banyak melalui pajak yang
ia bayarkan.
Di pihak lain tentunya pemerintah
pun akan memberikan berbagai kemudahan kepada para ekonomi kuat dalam
memperlancar aktivitas usahanya.
4. KEBIJAKAN
FISKAL DAN MONETER LUAR NEGERI
Di dalam sektor luar negeri, kedua
kebijaksanaaan ini memiliki istilah lain, yang di dalam istilah tersebut
terdapat kombinasi antara keduanya. Istilah yang dimaksud adalah:
a. Kebijaksanaan menekan pengeluaran
Kebijaksanaan ini dilakukan dengan
cara mengurangi tingkat konsumsi/ pengeluaran yang dilakukan oleh para pelaku
ekonomi di Indonesia. Cara-cara yang ditempuh diantaranya:
Menaikkan pajak pendapatan. Dengan tindakan ini maka pendapatan yang siap untuk dibelanjakan
masyarakat (Y disposible) menjadi berkurang sehingga diharapkan masyarakat akan
mengurangi presentase pengeluarannya.Menaikkan
tingkat bunga. Dengan kebijaksanaan ini, kegiatan
investasi menjadi tidak menarik lagi. Akibatnya kegiatan investasi akan turun
yang berarti pengeluaran dari sektor ini akan berkurang.
Mengurangi pengeluaran pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penjadwalan ulang
proyek-proyek dengan lebih mengutamakan prioritas kebutuhan yang lebih
mendesak, dan dengan mengurangi bentuk-bentuk subsidi yang tidak lagi relefan.
Jika dilihat dari tindakan-tindakan
yang diambil tersebut, bahwa kebijaksanaan ini tampaknya tidak cocok untuk
keadaan perekonomian yang sedang mengalami tingkat pengangguran yang tinggi.
Karena dengan kondisi perekonomian yang seperti itu, maka justru perekonomian
sedang membutuhkan dana yang besar untuk menaikkan investasi, sehingga dapat
tercipta lapangan pekerjaan yang dapat menampung para penganggur tersebut.
Sedangkan jenis kebijaksanaan ini justru mengakibatkan sebaliknya.
b. Kebijaksanaan memindah pengeluaran
Jika dalam kebijaksanaan menekan
pengeluaran, para pelaku ekonomi diusahakan berkurang, maka dalam kebijaksanaan
ini pengeluaran mereka tidak berkurang, hanya dipindah dan digeser pada bidang
yang tidak terlalu beresiko memperburuk perekonomian. Kebijaksanaan ini dapat
dilakukan secara paksa dan dapat juga dipergunakan dengan memakai rangsangan.
Secara paksa kebijaksanaan ini
ditempuh dengan cara:
1. Mengenakan tarif dan/ atau quota, dengan tindakan ini
diharapkan masyarakat akan memindah konsumsinya ke komoditi buatan dalam
negeri, karena dengan dikenakannya kedua hambatan perdagangan tersebut, harga
komoditi impor menjadi mahal.
2. Mengawasi pemakaian valuta asing, hal ini dapat dilakukan
dengan memperhatikan maksud dan tujuan orang membutuhkan dan menggunakan valuta
asing. Kemudian akan diberikan kepada mereka yang akan menggunakan valuta asing
tersebut untuk mengekspor komoditi yang membantu terpenuhinya kebutuhan rakyat
banyak dan demi meningkatnya produktivitas perekonomian.
Sedangkan
kebijaksanaan memindah pengeluaran yang dilakukan dengan rangsangan dapat
ditempuh dengan cara:
1. Menciptakan rangsangan-rangsangan ekspor, misalnya dengan
mengurangi pajak komoditi ekspor, menyederhanakan prosedur ekspor, memberantas
pungutan liar (pungli) dan biaya-biaya siluman yang turut membebani harga
komoditi ekspor.
2. Menyetabilkan uah dan harga di dalam negeri, dengan demikian
akan lebih memberi iklim yang lebih sehat bagi masyarakat Indonesia dalam
mengkonsumsi produk dalam negeri. Dengan upah yang stabil akan ada kepastian
pendapatan bagi masyarakat. Dan dengan kepastian harga, konsumen akan lebih
tenang, dan menghindarkan dari tindakan spekulasi.
3. Melakukan devaluasi, yaitu suatu tindakan pemerintah dengan
menurunan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar. Dengan kata lain,
devaluasi menyebabkan semakin banyak Rupiah yang harus dikorbankan untuk
mendapatkan 1 unit dolar. Namun akibat positif yang ditimbulkannya adalah
semakin murahnya nilai komoditi ekspor Indonesia di pasar dunia.
Dengan demikian tujuan mendasar di
lakukannya devaluasi adalah untuk meningkatkan volume transaksi komoditi ekspor
Indonesia. Harapannya dengan peningkatan tersebut, penerimaan negara dari
sektor perdagangan luar negeri dapat meningkat, sehingga diperoleh dana
pembangunan yang lebih banyak. Namun demikian, manfaat devaluasi tersebut baru
dapat dirasakan jika dipenuhi beberapa kondisi di bawah ini, yakni:
Pertama, permintaan komoditi ekspor Indonesia memiliki sifat yang
elastis.
Elastis artinya bahwa perubahan
sedikit saja pada harga akan menyebabkan kenaikan permintaan terhadap komoditi
tersebut dalam volume yang jauh lebih besar. Untuk lebih melihat prosesnya, dapat
dilihat dalam grafik berikut:
Grafik
di atas menunjukkan bahwa jika komoditi ekspor kita memiliki elastisitas
permintaan seperti ini, maka devaluasi akan ada manfaatnya. Adanya penurunan
sedikit saja dalam harga (dari P0 ke P1) akan menyebabkan kenaikan permintaan
kooditi tersebut di luar negeri, dalam volume yang jauh lebih besar (dari Q0 ke
Q1).
Namun
jika komoditi ekspor Indonesia memiliki sifat permintaan yang sebaliknya,
seperti yang ditunjukkan dalam grafik berikut:
Maka
penurunan harga yang cukup besar (akibat devaluasi) dari P0 ke P1 ternyata
tidak diimbangi dengan kenaikan volume ekspor (dari Q0 ke Q1) yang hanya naik
sedikit saja. Sehingga kenaikan yang sediki tersebut tidak cukup untuk menutupi
‘kerugian’ yang terjadi karena adanya tindakan devaluasi tersebut.
Kedua,
permintaan komoditi ekspor juga
bersifat elastis, dalam arti hampir sama dengan yang pertama, maka jka terjadi
bahwa harga komoditi impor menjadi mahal sedikit saja (karena efek devaluasi),
maka akan terjadi penurunan permintaan dari masyarakat Indonesia terhadap
komoditi impor dalam jumlah yang sangat besar, dengan demikian tindakan
devaluasi akan membawa hasil. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya,
meskipun harga komoditi impor telah diturunkan, bahkan dengan presentase yang
besar sekalipun, tetapi selera masyarakat Indonesia terhadap komoditi asing
begitu tinggi, maka tindakan devaluasi tersebut tidak akan membawa dampak yang
positif.
Ketiga,
kemampuan industri nasioanal dalam
memenuhi adanya peningkatan permintaan ekspor Indonesia tersebut. Jika di dalam
negeri kapasitas produksi belum sepenuhnya digunakan (under eployment), maka
masih ada kemungkinan untuk memanfaatkan kesempatan dengan memenuhi kenaikan
permintaan tersebut. Namun jika kapasitas produksi sudah penuh dan bahkan telah
‘over employment’, maka adanya kenaikan permintaan tersebut tidak akan berarti
banyak, dengan demikian devaluasi yang dilakukan tidak akan berakibat banyak
pada kondisi perekonomian Indonesia.
Keempat,
adanya kemampuan pemerintah dan
masyarakat di dalam mengendalikan inflasi di dalam negeri. Jika inflasi tetap
tinggi, maka harga di dalam negeri cenderung tinggi, sehingga jika produk/
komoditi tersebut diekspor maka harganya juga akan tinggi, sedangkan tujuan
kebijaksanaan devaluasi itu sendiri bertujuan menurunkan harga komoditi ekspor.
Kelima,
kenyataan bahwa negara mitra dagang
Indonesia tidak melakukan tindakan/ kebijaksanaan yang sama. Jika ini terjadi
dengan nilai devaluasi yang lebih besar, maka kejadiannya akan menyebabkan
harga komoditi ekspor Indonesia (impor bagi negara mitra) akan menjadi mahal.
Dan sebaliknya komoditi impor negara (ekspor dari negara mitra menjadi lebih
murah). Sesuatu hal yang jauh dari harapan dilaksanakannya kebijaksanaan
devaluasi oleh pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar