NAMA :
ANNISA NURMALLASARI
NPM : 20211968
KELAS :
2EB08
TANGGAL REVIEW : 3 MEI 2013
PENETAPAN PENGADILAN DALAM PROSES PELAKSANAAN JUAL BELI
HAK MILIK ATAS TANAH WARISAN (STUDI KASUS PENETAPAN NOMOR 729/PDT.P/2003/PN.SBY
OLEH PENGADILAN NEGERI SURABAYA)
OLEH :
PETRUS DIBYO YUWONO
B4B 007159
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009
2. TINJAUAN JUAL
BELI HAK ATAS TANAH
2.1. Pengertian
Jual Beli Hak Atas Tanah
Seseorang
yang memiliki tanah, karena kebutuhan tertentu kadang tanah yang bersangkutan
dipindahkan kepada orang lain. Pemindahan hak atas tanah dapat berupa jual
beli, hibah, tukar menukar dan lelang. Dari perbuatan hukum tersebut yang
sering dilakukan adalah jual beli tanah. jual beli tanah sering dilakukan oleh
warga masyarakatbaik di kota maupun didesa.
Pengertian
Jual Beli khususnya untuk tanah hak Milik dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu
menurut Hukum Barat yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
dan Hukum Adat.
2.1.1 Menurut
Hukum Barat (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
Pasal
1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan secara tegas yang dimaksud
dengan transaksi jual beli adalah :
“jual beli adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”
Pasal 1458 Kitab
Undang-Undang hukum Perdata menyatakan pula :
“Jual
beli ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah orang-orang
ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut meskipun kebendaan itu
belum diserahkan maupun kebendaan itu belum dibayar”
Pasal 1459 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan :
“Hak Milik atas benda yang dijual
tidaklah berpindah kepada sipembeli selama penyerahannya belum dilakukan
menurut Pasal 612, 613 dan 616.”
Dari
pengertian diatas terjadinya transaks yaitu setelah adanya penyesuaian kehendak atau
tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak mengenai barang dan harga yang merupakan unsur pokok dalam transaksi
jual beli. Mengenai kata sepakat yang telah dicapai para pihak dalam transaksi
tidak selalu dibuat secara tertulis melainkan dapat juga secara lisan.
2.1.2 Menurut
Hukum Adat
Menurut
Hukum Adat yang dimaksud dengan transaksi Jual Beli hak atas tanah adalah
adanya atau diperlukannya persetujuan yang berada diantara kedua belah pihak. Akan
tetapi yang lebih dipentingkan lagi ialah diperlukannya atau adanya penyerahan hak
atas tanah yang menjadi obyek dari transaksi jual beli hak atas tanah oleh
penjual kepada pembeli. Pada saat itu pulalah pembeli menyerahkan pembayaran
harga kepada penjual. Jadi pengertian tersebut berarti konkrit atau nyata yang
mana sebelum adanya penyerahan hak atas tanah atau pembayaran harga, maka
transaksi jual beli hak atas tanah dianggap belum pernah terjadi atau belum
sah.
Namun,
lain halnya dengan pengertian transaksi jual beli hak atas tanah menurut hukum
perdata barat. Transaksi jual beli hak atas tanah itu pertama-tama diperlukan
adanya kata sepakat yang mana harga dari hak atas tanah yang dijual itu belum
dibayar tetapi sudah kata sepakat , maka transaksi jual beli hak atas tanah itu
dianggap telah sah. Hal tersebut diatas juga senada dengan pendapat Effendi
Perangin yang menyatakan bahwa:
“transaksi Jual Beli hak atas tanah itu
dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka sudah mencapai
kata sepakat mengenai hak atas tanah yang diperjualbelikan itu serta mengenai
harganya biarpun hak atas tanah itu belum diserahkan dan harganya belum
dibayar”
Jadi
pengertian transaksi jual beli hak atas tanah menurut Hukum Adat dan Hukum
Perdata Barat pada hakikatnya adalah berbeda karena menurut hukum adat terjadi
transaksi jual beli hak atas tanah adalah berupa penyerahan hak atas tanah dan disertai
dengan pembayaran atas sejumlah harga. Sedangkan menurut hukum perdata barat
terjadinya transaksi jual beli hak atas tanah adalah saat mereka mencapai kata
sepakat walaupun tanpa disertai dengan penyerahan
hak atas tanah dan pembayaran atas sejumlah harga.
Ketentuan hukum
agraria telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dalam Pasal 5 di
dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa:
“hukum Agraria yang berlaku atas bumi
air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang
ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”
Dari
ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 diatas dapat diketahui,
bahwa sistem yang dipakai pada hukum agraria kita (Undang-Undang Pokok Agraria)
adalah “Sistem Hukum Agraria Adat”. Namun yang akan dipakai adalah hukum adat yang telah
disempurnakan.
Dalam
penggunaannya sebagai pelengkap hukum tertulis, norma hukum adat menurut Pasal
5 UUPA juga akan mengalami pemurnian atau saneering dari unsurunsurnya yang
tidak asli. Dalam pembentukan hukum tanah nasional yang digunakan sebagai bahan
utama adalah konsepsi dan asas-asasnya. Dengan melihat uraian diatas, maka
transaksi jual beli hak atas tanah itu berpedoman pada hukum adat. Dari
ketentuan yang ada tersebut apabila dibandingkan dengan pengertian transaksi
jual beli hak atas tanah menurut hukum adat ternyata pada dasarnya tidak
berbeda karena transaksi jual beli hak atas tanah menurut hukum agraria
nasional merupakan perbuatan hukum yang bersifat kontan. Beralihnya atau berpindahnya
hak atas tanah itu seketika sejak tanda tangan “akta Jual beli”oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) dan pihak-pihak yang bersangkutan dan dua orang saksi. Hal-hal
yang berbeda mengenai pelaksanaan atau teknis pemindahan haknya, menurut hukum
agraria nasional dituntut adanya “tertib administrasi pertanahan” terutama yang
erat kaitannya dengan “masalah pendaftaran tanah” sehingga hal-hal yang
menyangkut hubungan hukumnya dapat dijamin.
Dengan
demikian, pengertian transaksi jual beli hak atas tanah menurut Undang- Undang
Pokok Agraria sama dengan pengertian transaksi jual beli hak atas tanah menurut
hukum adat. Hanya saja perbedaannya terletak pada tata cara pelaksanaannya. Menurut
hukum adat transaksi jual beli hak atas tanah dilakukan dihadapan kepala desa. Sedangkan
menurut Undang-Undang Pokok Agraria transaksi jual beli hak atas tanah harus
dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) didaftarkan pada kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat. Setelah UUPA yang bersifat unifikasi itu diberlakukan,
maka dualisme dalam pengertian jual beli tersebut diatas diakhiri, karena salah
satu tujuan dari UUPA adalah meletakkan dasar unifikasi hukum dan menghapus
dualisme. Demikian dengan hak atas tanah, yang sebelumnya ada tanah barat dan
ada tanah adat maka setelah UUPA diberlakukan hanya mengenal satu macam hak
atas tanah yaitu yang diatur dalam UUPA seperti, Hak Milik, Hak Guna Bangunan,
Hak Guna Usaha dan lain-lain.
2.2. Obyek
transaksi Jual Beli Hak Atas Tanah
Menurut
historis dan logis bahwa transaksi jual beli itu pada dasarnya merupakan bagian
dari salah satu macam perjanjian tukar-menukar atau disebut istilah “barter”.
Di dalam perjanjian tukar-menukar obyeknya adalah barang dengan barang atau
uang dengan uang. Sedangkan pada transaksi jual beli, obyeknya adalah barang dengan
harga. Oleh karena itu dalam transaksi jual beli berhadapan dengan uang.
Apabila
kita lihat dalam Pasal 1457 KUHPerdata, istilah harga tidak mungkin diartikan
lain selain dari alat pembayaran yang sah, yaitu berupa sejumlah uang. Karena jika
tidak demikian sudah barang tentu tidak akan terjadi transaksi jual beli. Obyek
dari transaksi jual beli hak atas tanah adalah hak atas tanah. Oleh karena itu,
sebelum dilakukan transaksi jual beli hak atas tanah, haruslah diketahui
terlebih dahulu secara pasti tentang macam hak atas tanah yang menjadi obyek
dari transaksi jual beli hak atas tanah tersebut.
Dalam hal ini,
hak atas tanah dapat dibedakan menjadi 4 (empat):
1. Hak Milik
(Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria)
2. Hak Guna
Usaha (Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria)
3. Hak Guna
Bangunan (Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria)
4. Hak Pakai
(Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria)
Untuk
hak atas tanah yang telah memiliki Sertifikat Hak Atas Tanah dapat diketahui
secara pasti mengenai macam hak yang disandangnya dan sekaligus dapat diketahui
pula tentang luas dan batas-batasnya, juga mengenai letaknya, seperti yang telah
dicantumkan pada surat ukur atau gambar situasi. Khususnya untuk hak atas tanah
yang kepemilikannya berdasarkan hukum adat dan terjadi sebelum lahirnya
Undang-Undang Pokok Agraria serta sebelum diketahui hak yang disandangnya, maka
mengenai hal itu dapat diketahui setelah adanya penegasan konversi dari Badan
Pertanahan Nasional (Kantor Pertanahan) Kabupaten/Kota setempat. Sedangkan untuk
batas-batasnya harus dijelaskan oleh penjual kepada pembeli secara
tegas.Berkaitan dengan obyek dari transaksi jual beli hak atas tanah, adalah
apakah sebidang tanah yang diatasnya terdapat sebuah bangunan atau tanaman itu
secara otomatis turut terjual ataukah tidak. Oleh karena itu dalam transaksi
jual beli hak atas tanah harus diperhatikan apakah bangunan atau tanaman yang
berada diatasnya itu ikut dijual atau tidak. Jika hal ini tidak disebutkan
dengan tegas dan jelas, maka bangunan atau tanaman tersebut ikut dijual pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar