NAMA :
ANNISA NURMALLASARI
NPM :
20211968
KELAS :
2EB08
TANGGAL REVIEW : 3 MEI 2013
PENETAPAN PENGADILAN DALAM PROSES PELAKSANAAN JUAL BELI
HAK MILIK ATAS TANAH WARISAN (STUDI KASUS PENETAPAN NOMOR 729/PDT.P/2003/PN.SBY
OLEH PENGADILAN NEGERI SURABAYA)
OLEH :
PETRUS DIBYO YUWONO
B4B 007159
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009
3. Pengertian
warisan
3.1 Menurut
Hukum Barat (kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
Dalam
Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa “pewarisan hanya
berlangsung karena kematian”
Dari
Pasal 830 KUHPerdata tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa “warisan itu
adalah soal apakah dan bagaimanakah pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup”
Pendapat
tersebut memberikan batasan-batasan mengenai warisan antara lain:
a. Seorang
peninggal warisan yang pada waktu wafatnya meninggalkan kekayaan
b. Seseorang
atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaaan yang ditinggal
itu
c. Harta warisan
yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris itu
3.1.1 Sistem
Pewarisan Barat
Sistem
pewarisan menurut hukum barat yang dimaksud di sini adalah sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata, yang menganut sistem individual dimana harta warisan jika pewaris meninggal
harus selekas mungkin diadakan pembagian. Sistem ini kebanyakan dianut oleh
Warga Negara Indonesia keturunan asing seperti keturunan Eropa, Cina, bahkan
Arab atau lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Sendi pokok
hukum waris barat sebagaimana dikemukakan Wirjono Prodjodikoro adalah Pasal
1066 kitab Undang-Undang Hukum perdata yang menyatakan :
a. Dalam hal
seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda seorang itu tidak dipaksa membiarkan harta benda
itu tetap tidak dibagi-bagi
diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya.
b. Pembagian
harta benda ini selalu dapat dituntut, meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan
dengan itu.
c. Dapat
diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu
tertentu.
d. Perjanjian
semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi,
kalau tenggang lima tahun itu telah lalu.
Bahwa
sistem hukum waris barat tidak sesuai dengan alam pikiran bangsa Indonesia
karena sifatnya yang mementingkan hak-hak perseorangan atas kebendaan. Hal mana
selalu akan dapat menimbulkan perselisihan tentang harta warisan diantara para
waris apabila pewaris wafat, dikarenakan menurut hukum barat pada hakekatnya semua
harta warisan termasuk hutang piutang beralih kepada waris, sedangkan para waris
dapat memilih diantara 3 (tiga) sikap yaitu :
a. Sikap
menerima secara keseluruhan, berarti waris menerima warisan termasuk
hutang-hutang pewaris.
b. Sikap
menerima dengan syarat, berarti waris menerima warisn secara terperinci dan hutang-hutang pewaris
akan dibayar berdasarkan barangbarang warisan yang diterima.
c. Sikap
menolak, berarti waris tidak mau menerima warisan karena ia tidak tahu menahu
mengenai pengurusan harta warisan itu.
3.2 Menurut
Hukum Adat
Istilah
waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa
Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia dengan pengertian bahwa didalam hukum
waris dalam hubungannnya dengan ahli waris tetapi luas dari itu.
Hukum
waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem
dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris
kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan
dari suatu generasi kepada keturunannya. Perbuatan penerusan atau pengalihan
harta pewaris kepada waris sebelum pewaris meninggal dapat terjadi dengan cara
penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris
kepada waris.
Didalam
kepustakaan hukum istilah warisan ada hukum kewarisan dan ada hukum waris.
Dibawah ini akan dikemukakan pengertian istilah yang dipakai dalam uraian
selanjutnya dalam hubungannya dengan unsur-unsur hukum waris.
1.
warisan
Istilah
ini menunjukkan harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu
telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi bagi. Istilah ini dipakai
untuk membedakan dengan harta yang didapat seseorang bukan dari peninggalan
sendiri pewaris tetapi didapat sebagai hasil usaha pencaharian sendiri didalam
ikatan atau diluar ikatan perkawinan. Jadi warisan atau harta warisan adalah
harta kekayaan seseorang yang telah wafat.
2.
waris
Istilah
ini dipakai untuk menunjukkan orang yang mendapat harta warisan, yang terdiri
dari ahli waris yaitu mereka yang berhak menerima warisan dan bukan ahli waris
tetapi kewarisan juga dari harta warisan. Jadi waris yang ahli waris ialah
orang yang berhak mewarisi sedangkan yang bukan ahli waris adalah orang yang
kewarisan.
3.2.1. Sistem
Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat
di Indonesia
sistem kewarisan yang terdapat pada masyarakat ada 3 yaitu :
a.
sistem
Pewarisan kolektif, sistem ini sangat dipengaruhi oleh cara berpikir yang kita
jumpai dalam masyarakat adat yang disebut cara berpikir yang “comun” atau “komunal/kebersamaan”. Cara berpikir
yang komunal ini menekankan pada rasa kebersamaan dalam ikatan kemasyarakatan
yang kuat, senasib sependeritaan, secita-cita dan setujuan, meliputi seluruh
lapangan kehidupan. Keadaan ini menggambarkan bahwa individualitas (sifat
individu) dari seseorang terdesak kebelakang. Kebersamaanlah yang utama baik
dalam suka maupun duka. Cara berpikir komunal ini dikaitkan dengan hukum waris
adat lebih baik harta peninggalan (warisan) dibiarkan tetap utuh tidak
dibagi-bagikan, diwarisi bersama sama oleh sekumpulan ahli waris dan hasilnya
dinikmati bersama kemudian dijadikan harga pusaka.
b. Sistem
Pewarisan Mayorat , sistem kewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan
system pewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas
harta yang tidak terbagi bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas
sebagai pemimpin rumah tangga atau
kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala
keluarga. Anak tertua dalam kedudukannya sebagai penerus penanggung jawab orang
tua yang wafat berkewajiban
mengurus dan memelihara saudara-saudara yang lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan
kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka dapat berumah tangga dan
berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan mereka yang turun
menurun. Seperti halnya dengan system kolektif setiap anggota waris dari harta
bersama mempunyai hak memakai dan hak menikmati harta bersama itu tanpa hak menguasai
atau memilikinya secara perorangan.
c. Sistem
Pewarisan Individual , Pewarisan
dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana
setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki
harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu
diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta
warisan untuk disahkan, dinikmati atau dialihkan.
(dijual) kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain
Berbicara
tentang sistem kewarisan tidak lepas dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh
masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia, apabila masyarakat adat yang ada
di Indonesia memeluk agama yang berbeda beda bersuku-suku yang mempunyai bentuk
kekeluargaan atau kekerabataan yang berbeda-beda pula.
Secara teoritis
sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam 3 corak yaitu:
a. sistem
patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita dalam
pewarisan.
b. Sistem
matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam
pewarisan.
c. Sistem
parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
orangtua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan
wanita tidak dibedakan didalam pewarisan.
3.3. Menurut
Hukum Islam
Hukum
Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Alquran dan Hadis
Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan, dan hal-hal yang ditentukan
Rasulullah. Baik dalam Alquran maupun hadis-hadis Rasulullah, dasar hukum kewarisan
itu ada yang secara tegas mengatur dan ada yang secara tersirat bahkan kadang-kadang
hanya berisi pokok-pokoknya saja yang paling banyak ditemui dasar atau sumber
hukum itu dalam Surah An Nissa’; disamping surah lainnya sebagai pembantu.
Masalah
kewarisan akan timbul apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut harus ada
pewaris (muwarits) seorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta
peninggalan (Tirkah), adalah merupakan condition sine quo non (syarat
mutlak). Pewarisan hanya berlangsung karena kematian dan kematian itu ada
beberapa macam antara lain sebagai berikut :
1. Mati hakiki
(mati yang sebenarnya), ialah hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya yang
dapat dibuktikan oleh pancaindera atau oleh dokter.
2.Mati
hukmi (mati yang dinyatakan menurut putusan hakim)
3.Mati
taqdiri ialah kematian bayi yang baru dilahirkan.
Harus
ada mauruts atau tirkah, ialah apa yang ditinggalkan pewaris baik hak kebendaan
berwujud maupun tidak berwujud bernilai
atau tidak bernilai, atau kewajiban yang harus dibayar.
Harus
ada ahli waris (warits), yaitu orang yang akan menerima harta peninggalan
pewaris yang dapat dibagi dalam 5 (lima) golongan yaitu:
1.
ahli waris sebab (sababiyah) perkawinan antara suami dan istri.
2. ahli waris
nasabiyah, yaitu orang yang menerima warisan karena ada hubungan nasab
(qarabat)
3.
ahli waris karena hubungan wala (karena pembebasan budak)
4.
apabila menangis anak yang baru dilahirkan maka dia akan mewaris
5.
kematiannya bersamaan mereka tidak saling mewaris
3.3.1. Sistem
Pewarisan Islam
Sistem
hukum waris islam adalah sitem hukum waris yang pelaksanaan dan penyelesaian
harta warisan itu apabila pewaris wafat. Apabila seseorang meninggal dunia
meninggalkan harta kekayaan makan berarti ada harta warisan yang haarus dibagi-bagikan
kepada para waris pria atau wanita yang masih hidup dan juga memberikan bagian
kepada anak-anak yatim dan fakir miskin.
Sistem
waris islam dasar berlakunya sistem individual bilateral yang terdapat dalam
Alquran Surah IV Annisa. Sesungguhnya hukum waris islam adalah perubaahan dari
hukum waris adat bangsa arab sebelum islam yang berdasarkan sistem kekeluargaan
kebapakan (patrilineal) dimana yang berhak mendapat harta peninggalan adalah
asabat yaitu kaum kerabat lelaki dari pihak bapak. Setelah datangnya islam maka
Alquran melakukan perubahan sebagaimana diatur dalam Alquran IV: 7-18, dengan
memberi bagian pula bagi kaum wanita sehingga disebut dzawu’I-faraidh
yaitu ahli waris yang berhak mendapat warisan adalah sebagai berikut :
1. menurut garis
bapak-anak (kebawah), ialah juga anak perempuan, anak perempuan dari anak lelaki
2. menurut garis
anak-bapak (keatas), ialah bapa, ibu, kakek dari pihak bapak dan nenek
perempuan dari pihak bapak maupun dari pihak ibu
3. menurut garis
saudara (kesamping) ialah saudara kandung, saudara tiri dari pihak bapak,
saudara tiri dan saudara tiri dari pihak ibu, juga duda dan janda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar